Rabu, 06 Oktober 2010

Kemarau Basah Bukti Pemanasan Global

Dr Edvin Aldrian
(KEPALA PUSAT PERUBAHAN IKLIM DAN KUALITAS UDARA BMKG, IPCC AR5 LEAD AUTHOR)
Hingga pertengahan Juni, yang seharusnya musim kemarau, curah hujan di berbagai daerah masih tetap tinggi. Hujan yang terkadang disertai kilat dan guntur serta berlangsung pada malam hingga dinihari itu mencirikan karakter cuaca pada puncak musim hujan atau yang biasa terjadi pada Januari. Apakah sekarang iklim sudah berubah? Inilah yang pantas disebut sebagai kemarau basah.
World Meteorological Organization (WMO) dan Lembaga Antariksa Amerika Serikat (NASA) mencatat April 2010 sebagai bulan April terpanas sepanjang sejarah. NASA juga menyebutkan, periode Januari-April 2010 sebagai periode terpanas sepanjang sejarah.
NASA memperkirakan, apabila tren tahun ini terus berjalan, bisa jadi tahun 2010 adalah tahun terpanas yang pernah tercatat Yang perlu diwaspadai, menurut NASA, tren ini terjadi pada saat siklus matahari tidak berada di puncak maksimum, sehingga diperkirakan dalam 2 tahun lagi, ketika siklus maksimum radiasi matahari terjadi, akan menghasilkan puncak catatan baru tahun terpanas.
Sebagai dekade terpanas, hampir seluruh tahun, dari 2000 hingga 2009, adalah rekor panasnya suhu bumi dengan urutan tahun 2005, 2009, dan kelompok tahun panas lainnya yang serupa, yaitu 1998; 2002, 2003, 2006, serta 2007. NASA mencatat bahwa secara total telah terjadi pemanasan suhu global sebesar 0,8 derajat Celsius sejak 1880.
Pergeseran suhu muka bumi ini juga terasa di wilayah perairan Indonesia. Meski saat ini bukan pada fase La Nina serta bukan pada fase Madden Julian Oscillation aktif, curah hujan pada bulan Juni di wilayah Indonesia sangat tinggi. Faktor utama penyebabnya adalah tingginya suhu muka laut di wilayah Indonesia. Menurut catatan mingguan yang dikeluarkan oleh Biro Meteorologi Australia (BoM), suhu muka laut di wilayah Indonesia berada pada nilai 1 derajat Celsius di atas rata-rata normalnya. Besaran anomali ini sangat tinggi karena fluktuasi suhu muka laut wilayah Indonesia hanya sekitar 6 derajat Celsius, atau singkatnya anomali tersebut mendekati seperlimanya. Implikasinya akan terjadi perubahan pola penguapan saat suhu laut yang lebih tinggi akan memberikan potensi penguapan yang lebih besar, dan pada akhirnya meningkatkan curah hujan pula.
Apa yang terjadi sekarang ini adalah pengaruh dari pemanasan global. Energi radiasi yang terperangkap di atmosfer akan berubah menjadi energi kalor dalam bentuk meningkatnya suhu muka bumi atau energi gerak (kinetik) berupa angin kencang, puting beliung, dan siklon tropis skala tinggi. Energi itu juga bisa berubah menjadi energi berat (potensial) yang akan menurunkan lebih banyak hujan dari langit karena efek gravitasinya. Ini sejalan dengan hasil analisa tren salinitas muka laut global yang dilakukan Ilmuwan
Australia, Paul Dur-rack serta Susan Wijffels, yang menemukan potensi iklim yang lebih basah untuk wilayah tropis dan potensi iklim lebih kering untuk wilayah subtropls. Potensi yang cenderung terjadi untuk wilayah Indonesia dalam iklim mendatang adalah timbulnya kemarau basah. Dalam catatanpenulis tahun 2003, 2005, 2007, dan 2008, serta kemungkinan 2010 adalah tahun terjadinya kemarau basah.
Peristiwa pergeseran suhu muka laut sekitar di atas 1 derajat celcius rata-rata normalnya akan menyebabkan pergeseran pola curah hujan lokal. Apabila 2010 menjadi tahun terpanas sepanjang catatan, pola curah hujan wilayah Indonesia sepanjang 2010 akan berubah total.
Pola hubungan suhu muka laut dan pola hujan lokal berlaku berbanding lurus saat peningkatan suhu muka laut di bawah suhu laut kritis 29,6 derajat Celsius akan mengakibatkan peningkatan curah hujan lokal. Di atas suhu kritis tersebut, curah hujan menurun karena peningkatan penguapan laut akan memberikan efek pendinginan yang disebabkan oleh perubahan fase air dari bentuk cair ke gas. Penguapan pada suhu laut yang tinggi akan sulit terbentuk. Konsekuensi logis yang dapat terjadi adalah, pada awal puncak musim hujan seperti Desember, kita dapat mengalami periode jeda (breaK) musim hujan sebagaimana kita alami dalam beberapa tahun belakangan ini.
Jelas terlihat di sini bagaimana efek pemanasan global dapat mengganggu pola iklim tahunan, terutama di negara maritim seperti Indonesia. Prediksi iklim memakai sifat Tata-rata yang selama ini dikenal tentu saja sulit dilakukan karena besaran statistik Iklim telah berubah. Untuk mengantisipasi lonjakan anomali iklim yang disebabkan oleh pemanasan muka air laut wilayah Indonesia, sudah saatnya Indonesia memiliki program nasional pemantauan dan analisa iklim laut Indonesia, serta penerapan model iklim laut skala tinggi yang dapat mendeteksi perubahan iklim hingga beberapa bulan ke depan.
Dalam diskusi yang dilakukan dengan pihak NOAA pada pertemuan Executive Council WMO di Jenewa beberapa waktu lalu, disarankan agar Indonesia melakukan pemantauan kondisi bawah muka laut wilayah Indonesia dengan memakai peralatan pemantau hingga dasar laut seperti buoy yang dipasang di perairan wilayah Indonesia. Perubahan iklim laut bisa lebih awal dipantau bila dinamika struktur laut dapat dipantau secara jelas.
Program pemodelan Iklim laut operasional untuk wilayah Indonesia masih merupakan Impian saat ini. Dengan wilayah maritim yang luas dan pulau kecil yang tersebar di berbagai wilayah, tingkat kesulitan pemodelan iklim laut u?ituk wilayah benua maritim sangat tinggi, terutama untuk prediksi iklim ke depan, yang membutuhkan masukan dinamika laut global, sehingga idealnya dilakukan pemodelan global dengan mempertegas kemampuan resolusi model pada wilayah benua maritim.



Dikutip dari:http://bataviase.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar